Rabu, 26 Oktober 2016

PESONA SEORANG SANTRI KECE




 Santri!
Menyebut namanya terbayanglah keshalihan, kepolosan wajah dan keluguan sikapnya. Merekalah yang sering disebut mahkluk aneh ketika sedang berjalan di tempat umum. Penampilan sarung dan songkoknya, pandangan matanya yang pendek dan wajahnya yang senantiasa menunduk saat bertemu dengan lawan jenis menambah ketawadhuanya. Senantiasa ada nuansa baru setiap kali kita menyebut makhluk yang bernama santri. Kata san yang berarti matahari yang memberikan cahaya, tri artinya tiga. Santri mempunyai dan memancarkan tiga cahaya matahari yaitu keilmuan, amal shalih dan ibadah. Sehingga ada tiga standar dasar yang identik dan harus ada dalam diri santri yaitu ilmu agama yang mumpuni, amal shalih yang ikhlas dan ibadah yang tekun. Bagi pemuda biasa, bisa menjalankan sholat lima waktu sudah baik. Bahkan sekarang ini sholat hanyalah sebagai penggugur kewajiban saja tanpa memperhatikan tumakninahnya karena sibuk dengan urusan duniawi. Tapi untuk santri, sholat lima waktu harus di masjid plus segala sholat sunnah rawatibnya.

Santri memang sosok langka yang penuh pesona. Kelangkaannya mungkin karena langkanya pemuda yang baik saat ini. Di masa modern sekarang ini, yang semakin kekian akan budaya barat sungguh sangat jarang ada remaja atau pemuda yang rajin ke masjid setiap waktu shalat, membaca Al-Qur'an setiap hari, dan menjaga pandangan untuk tidak berpacaran. Keramaian masjid saat ini mengalami penurunan drastis, para pemuda lebih rajin pergi ke warung kopi dari pada ke masjid apalagi sekarang ini warung kopi di lengkapi dengan fasilitas free-wifi, sehingga warung kopi serasa rumah sendiri. Tanpa mereka sadari waktu mereka akan habis dengan hal-hal yang tidak ada gunanya. Teknologi yang semakin canggih kebanyakan justru menjerumuskan, karena teknologi jika tidak di sertai pengetahuan dan juga akhlakulkarimah maka justru akan menyesatkan.

Seorang santri tidak perlu tebar pesona, karena pesona yang terpancar secara alami  pengaruh air wudhu yang senantiasa membasahi wajahnya, atau karena wajah yang selalu sujud, atau lantunan ayat-ayat suci yang terucap menghiasi suaranya atau senyum shadaqah yang tersungging dari bibirnya. Sehingga wajah santri yang pas-pasan nampak tampan nan kece, muka lugu dianggap sejuk, tampilan polos terkesan suci. Bagi yang berhati nurani bersih, melihat wajah santri akan memberikan kesejukan tersendiri. Maka mendadak seorang santri bisa menjadi selebriti atau idola para wanita yang mengidamkan calon imam yang sempurna, tidak ketercuali saya sendiri hehe.

Tak heran setiap wanita muslim akan mudah jatuh hati karena pesona seorang santri yang selalu terpancar dari setiap tutur kata yang sopan, raut wajah yang bercahaya, tingkah lakunya yang beradap dan selalu mengutamakan kewajiban lima waktunya. Namun bagi mereka yang terkontaminasi dan teracuni budaya modern jahili, saat melihat santri sering  menimbulkan sikap sinis dan cibiran.  Santri dianggap kolot dan kampungan, meskipun dalam hati kecil tetap mengakui kebaikanya. Bagi orang awam, sekedar bisa membaca Al-Qur’an sudah cukup. Tapi bagi santri, di tuntut harus bisa menghafal dan menterjemahkan sebagian atau bahkan seluruh isi Al-Qur’an. Bagi anak muda zaman sekarang, mempunyai pacar sering di anggap suatu keharusan. Tapi bagi santri, sekedar berkenalan dengan lawan jenis saja sudah dinilai cacat dan termasuk pelanggaran. Oleh kerena itu santri selalu menjaga pandangan, tutur kata, penampilan, dan perilakukanya sebagai bukti ketaqwaannya dan keimanannya kepada Allah. Itulah keistimewaan dari seorang santri. Semoga bisa bermanfaat.

SELAMAT HARI SANTRI !!!! :D

Rabu, 19 Oktober 2016

BROKEN HOME TIDAK MENJADI ALASAN





Broken Home biasa diartikan dengan kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir dengan perceraian. Beberapa kasus diantaranya mungkin disebabkan perbedaan prinsip hidup, dan diantara lainnya bisa disebabkan oleh masalah-masalah pengaturan keluarga. Broken home sebenarnya merupakan realitas yang cukup berimplikasi negatif bagi perkembangan kepribadian anak, meskipun kita mengakui peranan lingkungan dalam perkembangan individu. Broken home sangat berpengaruh besar pada mental seorang anak. Hal inilah yang mengakibatkan seorang anak jadi tidak ingin beprestasi. Hal ini juga merusak jiwa anak secara perlahan-lahan dan membuat mereka menjadi susah untuk diatur, tidak disiplin dan brutal. Mereka juga bisa dibilang menjadi pemicu dari suatu kerusuhan karena mereka ingin mencari simpati dari teman-temannya bahkan dari para guru. Untuk menyikapi hal ini perlu diberikan perhatian dan pengerahan yang khusus agar mereka mau sadar dan mau berprestasi. Masa remaja merupakan masa transisi atau masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan . Pada masa inilah remaja akan mulai melakukan banyak hal-hal yang negatif pada umumnya. Mereka akan mulai lebih mendengarkan teman-temannya daripada orang tua atau keluarga.

Dampak keluarga broken home terhadap perkembangan sosial remaja adalah  perceraian orang tua menyebabkan ketidakpercayaan diri terhadap kemampuan dan kedudukannya, dia merasa rendah diri menjadi takut untuk keluar dan bergaul dengan teman- teman. Anak yang dibesarkan dikeluarga yang bermasalah, cenderung sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kesulitan itu datang secara alamiah dari diri anak tersebut. Mereka merasa minder atau malu karena latar belakang keluarganya yang tidak harmonis seperti teman-temannya yang keluarganya dari keluarga yang utuh dan harmonis. Mereka lebih memilih untuk menutup dirinya dari teman dan pergaulan hanya agar tidak banyak temannya yang tau tentang permasalahan di keluarganya. Tapi ada juga kebalikan dari hal itu bisa jadi anak berperilaku terlalu aktif, agresif dan genit dengan tujuan berpura-pura menutupi masalah yang mereka alami dan mendapatkan perhatian dari orang lain yang tidak dia dapatkan lagi dari orang tua mereka.

Semua peristiwa yang kita alami, sebaiknya kita lihat dari sisi positifnya saja. Karena di balik semua masalah pasti ada hikmah yang dapat kita petik. Jadikan itu semua sebagai proses pembelajaran bagi kita sebagai remaja menuju tahap kedewasaan. Jauhkan segala pikiran buruk yang bisa menjerumuskan kita ke jurang kehancuran, seperti memakai narkoba, minum-minuman keras, malah sampai mencoba untuk bunuh diri. Tidak terjebak dengan situasi dan menghakimi orangtua atau diri sendiri atas apa yang terjadi serta marah dengan keadaan ini. Alangkah baiknya apabila kita bisa memulai untuk menerima itu semua dan mencoba menjadi lebih baik. Keterpurukan bukanlah jalan keluar. Tetap berusaha itu kuncinya. Tidak ada salahnya kita mencoba sesuatu yang baru, asal bersifat positif dan dapat membentuk karakter positif di dalam diri kita. Contohnya, menulis suatu karya seperti puisi, cerpen, novel dll.

Rabu, 12 Oktober 2016

Argumen Full Day School





Saya kurang setuju dengan adanya full day school, memang full day school ‎merupakan ide bagus. Namun itu perlu dikembangkan dan didalami secara lebih matang. Ide full day school itu perlu didukung dengan sarana dan prasarana penunjang. Tetapi kenyataannya di Indonesia sarana prasarana pendidikan disetiap provinsi berbeda-beda. Oleh karena itu ide full day school sebaiknya diterapkan kepada sekolah yang sudah siap dari segi sarana dan prasarana dulu. Senada dengan pendapat dari Kepala SMA Negeri 8 Berau yang berada di Kecamatan Biduk-Biduk, Zul Bahraen juga mengkritisi mengenai adanya fuul day school, ia mengatakan meskipun Full Day School tujuannya baik, namun tidak bisa disamaratakan dengan sekolah yang berada di wilayah jauh atau pelosok kota. Alasannya, jarak tempuh siswa yang relatif jauh, sementara mayoritas siswa yang berada di wilayah pinggiran juga masih membantu para orang tua dalam bertani atau pun berkebun.
Disamping itu, fasilitas sekolah juga harus menjadi pertimbangan. Karena tidak semua gedung sekolah memiliki fasilitas lengkap, sehingga tidak memungkinkan untuk program tersebut akan dilakukan. “Guru juga punya anak dan keluarga yang harus diurus, dan diberi perhatian serta bimbingan di rumah. Jadi memang menurut saya belum bisa diterapkan,” bebernya.
Menyekolahkan anak di full day school juga beresiko. Resikonya adalah anak kurang bergaul di lingkungan masyarakat. Intensitas bertemu dengan orangtua juga sebentar karena seharian di sekolah sementara kalau malam kan waktunya tidur. Padahal orangtua dan anak itu harus punya kedekatan emosional yang intim. Kalau jarang ketemu, jarang ngobrol, bagaimana membangun kedekatan emosional? Selain itu, pendidikan tidak mutlak di tangan sekolah. Pendidikan bisa berawal dari rumah tangga atau keluarga. Lagipula, menurut saya ilmu dan pendidikan tidak semuanya bisa didapat di sekolah. Tapi ilmu dan pendidikan juga bisa didapat dari keluarga dan lingkungan sekitar.
  Pendapat saya sejalan dengan Kak Seto Mulyadi yang akrab di panggil Kak Seto sebagai Psikolog anak dan juga anggota Komisi Nasional Perlindungan Anak, ia berargumen bahawa  “Jangan terburu-buru tapi akhirnya enggak matang. Harus dilihat pula kesiapan sekolah untuk memberlakukan sekolah hingga pukul 5 sore. Sekolah hingga pukul 1 siang saja banyak anak yang stres apalagi akan ada PR dan sebagainya,” ujar Kak Seto saat berbincang dengan detikcom, Senin (8/8/2016). Kak Seto mengatakan seharusnya pemerintah memperhatikan bahwa dalam memberikan pendidikan bagi anak, tak melulu dengan pendidikan formal di sekolah. Pendidikan non-formal yang mengharuskan anak dekat dengan keluarga dan masyarakat di sekitarnya juga perlu diperhatikan. “Mereka juga butuh untuk dekat dengan keluarga. Kan tidak semua orang tua bekerja, banyak anak yang stres karena tidak dibimbing keluarga. Jadi ini menjadi bahan pertimbangan, karena ini full day school nanti akan menimbulkan protes dari masyarakat,” jelasnya.
Sementara itu, Hairil, Guru SD Negeri 001 Talisayan, juga mengungkapkan hal senada. Menurutnya, dengan adanya full day school tersebut secara tidak langsung merampas hak bermain anak. Sebab, dengan seharian berada di sekolah akan membuat psikologis anak merasa lelah, sehingga membuat anak menjadi cepat bosan. Menurutnya, waktu belajar anak biasanya maksimal 5 sampai 6 jam saja, jika menjadi sehari sudah tentu hal itu sangat memberatkan.
Menurut teori perkembangan Psikososial Erik H. Erickson yang menjelaskan pada tahap perkembangan ke enam yaitu Keintiman vs Keterkucilan. Siswa yang bersekolah di full day school, kurang dapat bersosialisasi terhadap lingkungan masyarakat. Hal ini disebabkan siswa full day school lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah dari pada di rumah. Pada individu yang mampu melewati tahap ini , individu itu dapat membentuk relasi yang akrab dengan orang lain. Akibatnya murid – murid full day school kurang tanggap terhadap lingkungan. Setelah pulang dan sampai di rumah, jarang keluar rumah. Jika keluarpun, jauh dari lingkungan rumah. Ada kemungkinan secara psikologis anak cenderung tertutup dan jauh dari orang tua. Kondisi tersebut dapat diakibatkan oleh orang tua yang lelah bekerja, sehingga enggan untuk berinteraksi secara pribadi dengan anaknya. Pulang bekerja, orang tua lelah kemudian istirahat. Anak yang mungkin ingin menceritakan sesuatu kepada orang tuanya mengenai apa yang ia pikir, tidak mendapatkan wadahnya. Oleh sebab itu, siswa harus tahu tentang pentingnya peran lingkungan di sekitar siswa tersebut dalam kehidupan sosial budayanya. Agar siswa-siswi tidak hanya mahir di bidang IPTEK tetapi juga mampu bersosialisasi dengan lingkungannya.
Di sekolah rata-rata seorang anak mendapatkan ilmu akademik, tapi di rumah dan di lingkungan, anak bisa belajar ilmu kehidupan seperti contoh kecilnya adalah kebersamaan dan attitude. Kebersamaan dan bergotong-royong, biasanya di dapat di lingkungan masyarakat. Saling bantu membantu. Ilmu attitude yang biasanya sudah diajarkan di rumah, seperti contoh kecil mengucap terima kasih, berbahasa halus dengan orang yang lebih tua, menghargai orang lain dan lain sebagainya. Menurut saya, ilmu kehidupan, kebersamaan dan attitude itu sangat penting. Di sekolah kebanyakan hanya mempelajari secara teori, nah di rumah kita bisa menerapkannya, agar seimbang antara akademik dan attitudenya.
Oleh sebab itu, saya kurang setuju dengan full day school. Meskipun di sekolah itu kegiatannya positif, tapi sudah pasti kegiatannya adalah belajar belajar dan belajar. Sementara anak juga butuh waktu untuk bermain dan mengenal alam sekitar. Belajar itu tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah dan di masyarakat. Aktivitas positif juga bukan hanya belajar belajar dan belajar, tetapi bermain dengan teman sebaya  dan mengenal lingkungan juga merupakan contoh aktivitas positif.