KUPAS
TUNTAS KEINDAHAN PANTAI SELATAN
JOLOSUTRO NAN EKSOTIS
A.
Keadaan
Geografis di Wilayah Sekitar Pantai Jolosutro
Pantai Jolosutro
merupakan salah satu pantai yang berada di Blitar Selatan yang secara geografis
terletak pada 111 25’-112 20’BT dan 757-8 9’51 LS berada di Barat daya Ibu Kota
Provinsi Jawa Timur-Surabaya dengan jarak kurang lebih 160 km. Blitar Selatan termasuk daerah yang kurang subur. Hal
ini disebabkan daerah pegunungan yang berbatu, dimana batuan tersebut cenderung
berkapur sehingga mengabutkan tanah tandus dan susah untuk ditanami. Tapi lain
halnya dengan wilayah disekitar pantai Jolosutro yang memiliki tanah subur dan
cocok untuk ditanami tanaman apa saja. Tanah disekitar pantai berwarna hitam
dan gambut yang termasuk tanah humus sehingga cocok untuk ditanami tanaman
padi, tebu, jagung, cabai, melon, kacang hijau, pohon pisang, dan masih banyak
lagi. Banyak warga yang sampai rela berpindah rumah atau membuat gubuk yang
berada di dekat pantai untuk bercocok tanam disana, dan memudahkan mereka dalam
transportasinya. Karena pantai Jolosutro terletak di dataran rendah dan di
bawah pegunungan sehingga jalan menuju lokasi pantai sangat berlika-liku dan
curam.
Lokasi pantai
Jolosutro terletak di kabupaten Blitar yang berada di sebelah Selatan
Khatulistiwa. Tepatnya terletak antara 1110 401-1120101
Bujur Timur dan 70581-80915111
Lintang Selatan. Hal ini secara langsung mempengarui perubahan iklim.
Blitar Selatan atau sekitar pantai Selatan termasuk iklim tipe C.3 dimana
rata-rata curah hujan tahunan. Sedangkan suhu tertinggi 30 Celcius dan suhu
terendah 18 Celcius perubahan iklimnya seperti di daerah-daerah lain mengikuti
perubahan putaran dua iklim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Pada musim
penghujan banyak dimanfaatkan bagi warga sekitar pantai Jolosutro untuk
bercocok tanam. Mulai dari sektor pertanian dan perkebunan. Dan pada musim
kemarau sambil menunggu datang musim hujan lagi warga di sekitar pantai
memanfaatkan sektor pariwisata pantai dengan berdagang, atau membuka usaha lain
ditujukan untuk para pengunjung di area sekitar pantai.
Pada tahun 2015
kemarin juga telah dibuka jalur lintas Selatan yang lokasinya dekat dengan area
wisata pantai Jolosutro. Pembangunan jembatan Wonosari 1 dan jalur lintas
Selatan tersebut bertujuan untuk membuka akses baru yang berada di
Jolosutro-Batas Malang Kab. Blitar. Dengan adanya jembatan dan jalur lintas
Selatan akan mempermudah jalur transportasi dari Jolosutro atau Blitar ke
Malang sehingga warga sekitar pantai Jolosutro mudah mengakses hasil pertanian
dan perkebunan mereka ke kota Malang. Diharapkannya dengan kebijakan pemerintah
tersebut dapat meningkat taraf hidup warga di sekitar pantai Jolosutro.
B. Perekonomian
di Wilayah Sekitar Pantai Jolosutro
Keadaan
topografi juga mempengaruhi tingkat ekonomi masyarakat di wilayah sekitar
pantai Jolosutro. Di wilayah Selatan Kabupaten Blitar kondisi geografis yang
sebagian besar berupa pegunungan kapur sehingga memiliki jenis tanah grumusol.
Tanah grumusol merupakan batu-batuan endapan yang berkapur di daerah bukit
maupun gunung yang bersifat tandus dan kurang sehingga menyebabkan sektor
pertanian tidak begitu baik. Hal ini mengakibatkan sebagian besar area
pertanian berupa tegal yang memanfaatkan air hujan (tadah hujan). Selain itu
beberapa tumbuhan yang tidak banyak menyerap air seperti ketela, jagung dan
kacang tanah dapat ditanam namun harus pada musim penghujan. Untuk wilayah yang
memiliki ketersediaan air yang cukup, jenis tanah di Blitar Selatan khususnya
di sekitar pantai Jolosutro cocok ditanami berbagai macam buah seperti semangka
dan melon. Saat musim penghujan tiba daerah sekitar pantai mampu menghasilkan
hasil panen yang melimpah. Karena lokasi lahan yang berada di dataran rendah
dan lembab sehingga mampu menyuburkan semua jenis tanaman seperti padi, ketela,
jagung, dll.
Tanah di wilayah
sekitar pantai yang berkomposisi kapur juga cocok di tanami pohon jati sehingga
banyak dijumpai hutan jati untuk industri di wilayah ini. Selain itu juga
berbatasan dengan laut yang menyebabkan tumbuhan kelapa cocok tumbuh dan
menjadi komoditi lain di sektor perkebunan setelah tebu. Karena sektor
pertanian di wilayah Selatan relatif menggantungkan ketersediaan air hujan
sehingga produk pertanian tidak dapat diproduksi sepanjang tahun sehingga
pendapatan mesyarakat disektor pertanian lebih rendah. Tetapi keberadaan laut dan pantai ini sangat
membantu dalam memperbaiki keadaan ekonomi warga masyarakat. Hal yang dapat
diperoleh atau dimanfaatkan dari keberadaan laut dan pantai antara lain:
1. Adanya
pekerjaan sebagai nelayan.
Pekerjaan ini dapat
menjadi alternatif untuk mensiasati keadaan pertanian yang kurang bagus. Selain
itu dengan membuka area tambak di wilayah pesisir pantai juga mampu menambah
ekonomi warga Blitar Slatan atau sekitar pantai Jolosutro.
2. Di
jadikan tempat wisata.
Dengan adanya area
wisata ini penduduk sekitar dapat memanfaatkan dengan menarik tiket masuk lokasi
wisata, mendirikan jasa parkir kendaraan bagi wisatawan, mendirikan tempat
penginapan, mendirikan toko atau warung makanan, mendirikan tempat pemancingan
di dekat pantai dan menjual hasil tangkapan ikan kepada wisatawan.
3. Pasir
di pantai Jolosutro mengandung banyak biji besi. Hal ini menjadikan terdapatnya
daerah tambang seperti di pantai Jolosutro. Ini mampu menambah penghasilan dan
memperbaiki keadaan ekonomi warga masyarakat khususnya di wilayah Blitar
Selatan.
C.
Sejarah
Asal Mulanya Pantai Jolosutro
Pantai
jolosutro sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit. Dulu jalannya masih tanah
dan sekarang sudah dibangun aspal. Sebab pantai jolosutro dijadikan tempat
upacara umat Hindu seperti hari raya Nyepi karena seringnya di pakai untuk upacara
umat Hindu. Menurut cerita rakyat di namakan jolosutro karena dulu banyak
nelayan yang mencari ikan di pantai dengan menggunakan jala yang terbuat dari
sutra, sehingga di sebut pantai Jolosutro. Menurut cerita rakyat pantai
Jolosutro dihuni oleh Ratu Pantai Selatan yang biasa disebut Kanjeng Ratu Roro
Kidul. Legenda ratu pantai selatan ada 2 versi yang mengenai keberadaan Kanjeng
Ratu Roro Kidul yaitu:
Pertama,
cerita tentang Kanjeng Ratu Roro Kidul yang berasal dari manusia, kemudian
masuk ke alam gaib (jin). Dikisahkan bahwa Kanjeng Ratu Roro Kidul adalah
puteri seorang raja dari isteri pertama. Suatu ketika terjadi intrik dalam
kerajaan yang dipicu oleh kecemburuan isteri-isteri raja yang lebih muda.
Akibatnya, Kanjeng Ratu Roro Kidul dan ibunya diserang suatu penyakit aneh
(teluh/santet) dan diusir dari kerajaan. Si ibu menemui ajal, sedangkan Roro
Kidul mencari kesembuhan dengan berdiam di kawasan pantai Selatan. Dipantai
tersebutlah, ia berjumpa dengan jin penguasa laut yang menjanjikan kesembuhan
penyakitnya tetapi dengan syarat Roro Kidul harus ikut ke dalam kerajaan
lautnya. Roro Kidul menyanggupinya. Selanjutnya, Kanjeng Ratu Roro Kidul
diangkat menjadi ratu setelah penguasa sebelumnya meninggal. Uniknya, asal usul
daerah Roro Kidul itu juga beragam. Ada yang mengisahkan, Roro Kidul berasal
dari tanah Jawa. Tetapi ada juga cerita Kanjeng Ratu Roro Kidul itu adalah
kakak dari Saribu Raja yang merupakan keturunan Raja Batak. Nama asli Kanjeng
Ratu Roro Kidul adalah Biding Laut.
Kedua,
cerita rekaan buatan manusia. Cerita ini berkaitan dengan kisah Sultan Agung,
penguasa Kerajaan Mataram. Dikisahkan, ketika Sultan Agung berkuasa, dia
berharap agar rakyatnya hidup tentram dan tidak berniat melakukan pemberontakan
sebagaimana pernah dialami kerajaan-kerajaan pendahulunya seperti Singosari,
Majapahit, Demak, dll. Didorong untuk mencegah terjadinya pemberontakan itulah
Sultan Agung mengeluarkan maklumat seputar kebesaran Kerajaan Mataram. Sultan
Agung mengklaim bahwa kekuasaannya bukan hanya meliputi tanah Jawa melainkan
mencakup lautannya. Agar supaya klaimnya menjadi logis, maka Sultan Agung
memaklumkan pula bahwa dia menjalin kerjasama dengan Kanjeng Ratu Roro Kidul,
Penguasa Laut Selatan. Strategi ini cukup jitu mengingat budaya dan tradisi
Jawa yang kental dengan aroma mistik. Bahkan beredar pula cerita bahwa pada
bulan Suro (Muharram), masyarakat tanah Jawa dilarang mengadakan pesta atau
hajatan, karena di bulan itu Kanjeng Ratu Roro Kidul sedang menyelenggarakan
hajatan di kerajaan lautnya. Padahal alasan sesungguhnya karena di bulan Suro
itu penguasa Mataram mengadakan pesta, seperti pernikahan kerabat kerajaan.
Penuturan 2 orang saksi
yang pernah bertemu Kanjeng Ratu Roro Kidul
Pertama,
kesaksian Abdul (20 thn), warga Lomanis, Cilacap. Suatu ketika, ia sedang
bersantai di pantai pasir putih Pulau Nusakambangan. Menurutnya, dalam jarak
sekitar 50 meter dari garis pantai, ia melihat Sang Ratu menaiki kereta kencana
yang diiringi ratusan pengawalnya. Ia melihat gaun Sang Ratu sangat panjang
yang membentang dibelakangnya. Meski ia melihat mahkota di atas kepalanya Sang
Ratu, tetapi wajahnya hanya terlihat dari samping. Penampakan yang ia saksikan
sekitar jam 20.00 malam disusul dengan hilangnya kesadaran selama hampir satu
minggu. Syukurlah, sejumlah Kyai berhasil menyembuhkannya.
Kedua,
kesaksian Ahmad Durriati (70 thn), warga kotagede, Yogyakarta. Pengalaman
pertama saat ia bersama putranya sedang mengadakan tirakat di pantai Parang
Tritis. Menjelang tengah malam, suatu penampakan luar biasa ia saksikan yakni
bangunan tembok setinggi sekitar 5 meter yang membentang sepanjang pantai.
Jaraknya kurang lebih 20 meter dari garis pantai. Di beberapa bagian bangunan
tembok yang mirip benteng itu, ia dan putranya melihat sejumlah orang yang
berada di atasnya, seperti sedang dalam posisi berjaga. Penjaga yang tegak
berdiri dengan tombak ditangannya. Pengalaman kedua terjadi saat ia sakit keras
sehingga berada dalam kondisi koma. Dalam ketidaksadarannya itu, ia seolah
berada dalam kerajaan Roro Kidul. Disana, ia melihat orang-orang yang sedang
sibuk bekerja mendirikan tembok-tembok bangunan layaknya sedang ada
pembangunan. Uniknya, para pekerja memiliki ekspresi wajah memelas, seperti
hendak meminta tolong. Mereka seperti bekerja dalam suasana keterpaksaan. Mereka
bertelanjang dada dengan hanya mengenakan celana panjang lusuh. Selain itu,
sejumlah pria berwajah bengis berdiri mengawasi para pekerja. Boleh jadi para
pekerja itu adalah orang-orang yang ketika hidupnya kerap meminta pesugihan.
Selanjutnya, Ahmad Durriati menceritakan saat bertatap muka dengan Roro Kidul.
Menurutnya, Sang Ratu duduk di atas kursi singgasana yang lantainya
berkedudukan lebih tinggi dari tempat ia duduk. Sejumlah dayang-dayang berdiri
sambil membawa kipas.
Kemudian
Sang Ratu memberinya sebuah nasehat yang bermakna tauhid. ‘’Mintalah segala sesuatu kepada Tuhanmu.
Jangan meminta sesuatu apapun kepada saya, karena saya tidak berhak
memberikannya. Apabila ada manusia yang meminta sesuatu kepada saya. Sebenarnya
tidak pernah sekalipun saya memberikannya. Kalau ada manusia yang memuja saya
dan meminta sesuatu kepada saya, maka yang memberikan permintaannya adalah dari
kalangan warga kerajaan yang memang hendak menyesatkan manusia.’’ Demikian kata
Kanjeng Ratu Roro kidul. Sebuh nasehat tauhid yang boleh jadi meruntuhkan semua
anggapan bahwa Kanjeng Ratu Roro Kidul sering mengabulkan permintaan manusia
yang minta berkah dan pesugihan darinya.
Menurut
Ahmad Durriati, apa yang ia alami dalam kondisi koma itu seperti sebuah
pemberitahuan bahwa pemujaan dan minta pesugihan hanya sebuah kesia-siaan yang
hanya menjatuhkan diri dalam kemusyrikan. Kalapun ada manusia yang berhasil
memperoleh harta atau kedudukan dari hasil pesugihan, itu tidak lebih dari
pemberian syetan yang memang bertugas menyesatkan manusia. Dalam akhir
perjumpaannya, Ahmad Durriati diberi pilihan antara kembali ke keluarganya atau
tetap tinggal di kerajaan Laut Selatan. Ahmad memilih yang pertama. Kemudian Sang
Ratu mengangkat tongkat dan memukul pundaknya. Seketika ia tersentak dan sadar
dari kondisi koma yang ia alami selama beberapa hari.
Dari
berbagai informasi yang saya dapat ternyata mitos tentang Ratu Pantai Selatan
tidak hanya ada di Jolosutro saja tetapi semua pantai yang berada di Selatan
meliputi: Tambak, Jolosutro, Parang tritis, Nusakambang, dan Popoh.
D.
Kehidupan
Masyarakat di Wilayah Sekitar Pantai Jolosutro
Di
daerah sekitar pantai kegiatan masyarakat sangat didominir oleh kegiatan
pertanian atau perikanan. Dengan kata lain susunan masyarakatnya merupakan satuan
yang bersifat lebih homogen dibanding dengan masyarakat di daerah kota yang
bersifat heterogen. Bisa dilihat dari rumah yang ada di sekitar pantai
Jolosutro yang sangat sederhana. Mereka tidak berlomba-lomba untuk kemewahan,
sangat berbeda dengan kehidupan di perkotaan. Pada umumnya keadaan masyarakat
di daerah sekitar pantai bila dilihat dari segi sosial mempunyai sifat statis.
Apabila menemukan suatu masalah mereka menyelesaikannya dengan cara musyawarah,
karena mereka masih memiliki rasa kekeluargaan yang kuat. Sifat-sifat yang
dimiliki masyarakat sekitar pantai Jolosutro:
1. Mempunyai
hubungan kekeluargaan yang sangat erat.
2. Mempunyai
kefanatikan agama yang sangat lekat pada diri mereka masing-masing.
3. Masih
tergolong masyarakat parokial/subjek yang artinya masih pasif terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah.
4. Masih
tergantung pada budaya lokal yang menjadi keseharian.
Dari pengamatan
di lapangan dari segi pendidikan dan kesehatan di daerah sekitar pantai
Jolosutro itu belum memadai karena di desa tersebut baru ada satu sarana
pendidikan itu pun hanya sampai SD kelas 4 saja dan untuk lanjutan kelas 5 dan
6 mereka harus melanjutkan pendidikan di luar desa atau luar kecamatan yang
fasilitasnya lebih memadai. Karena kelas 5 dan 6 masih dalam proses
pembangunan. Selain sekolahan juga terdapat satu mushola yang di jadikan tempat
beribadah oleh warga sekitar pantai Jolosutro. Satu mushola itu digunakan oleh
5 RT. Dan yang paling memprihatinkan dalam segi kesehatannya karena belum
terdapat puskesmas atau sarana kesehatan yang lain di sekitar pantai Jolosutro.
Menurut seorang
warga yang saya wawancarai jika ada warga yang sakit atau mau melahirkan pada
malam hari dia pun harus pergi ke desa sebelah yang terdapat pukesmas. Dan
jarak antar desapun cukup membutuhkan waktu yang lama dan juga jalan yang
berlika-liku. Untuk itu warga di sekitar pantai sangat prihatin terhadap segi
kesehatan, mereka berharap bahwa pemerintah akan memerhatikan kebutuhan sarana
kesehatan warga di pesisir pantai yang dibilang masih jauh dari memadai.
Dari
segi pemerintahan masyarakat di sana hanya mengikuti kebijakan dari desa, tanpa
ada usaha untuk memengaruhi kebijakan tersebut. Kalau desa membuat keputusan A
masyarakat akan mengikuti kebijakan tersebut selama kebijakan tersebut baik
bagi desa. Tanpa adanya inisiatif sendiri dari masing-masing masyarakat. Dilain
sisi masyarakat disekitar pantai Jolosutro itu masih sangat homogen dan
hubungan mereka atas dasar kekeluargaan, sehingga apabila tetangga mereka ada
yang tertimpa musibah maka tetangga yang lain akan membantu atau menjenguk
meskipun tidak disuruh. Masyarakat di sekitar pantai Jolosutro sering
mengadakan kegiatan gotong-royong terutama pada hari libur masyarakat di
sekitar pantai melakukan kegiatan gotong-royong yang disana biasanya disebut
dengan kerja bakti untuk membersihkan lingkungan sekitar desa.
Masyarakat
di sekitar pantai mereka memiliki sifat yang homogen dalam hal mata pencarian,
nilai-nilai dalam kebudayaan, serta dalam sikap dan tingkah laku. Kehidupan di
sekitar pantai lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi artinya
semua anggota turut bersama-sama telibat dalam kegiatan pertanian atau pun
mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga.
E.
Kebudayaan
di Wilayah Sekitar Pantai Jolosutro
Upacara
Melasti Di Pantai Jolosutro
Suasana upacara sakral tampak menghiasi
Pantai Jolosutro di Kecamatan Wates Kabupaten Blitar. Ribuan orang berpakaian
serba putih, lengkap dengan ikat kepala khas pakaian adat Bali. Ribuan umat. Prosesi
"Melasti/Melis" terkait perayaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1934
di Kabupaten Blitar, umat Hindu melaksanakan ritual wajib di Pantai Jolosutro.
Melasti adalah rangkaian upacara sebelum perayaan Hari Raya Nyepi yang terdapat
ritual pelarungan dan penyucian simbol-simbol sebelum memasuki perayaan Nyepi.
Kegiatan yang melibatkan lebih dari 8 ribu umat Hindu. Ritual Melasti sebagai
penyucian diri agar seluruh umat Hindu diberi kekuatan lahir dan batin oleh
Sang Hyang Widhi dalam melaksanakan tapa brata atau menahan nafsu duniawi.
Dalam ritual Melasti pelaksanaannya menggunakan air sebagai simbol penyucian
diri.
Kegiatan ritual tersebut bermakna
membersihkan "pratima" dan benda yang disakralkan ke laut adalah
kegiatan yang diwariskan secara turun temurun. Kegiatan ini bermakna
meningkatkan hubungan yang lebih serasi dan harmonis antara sesama umat
manusia, lingkungan dan Tuhan. Seperti gambar yang ada di atas bahwa isi dari
sesaji adalah berbagai hasil bumi yang nantinya akan dihanyutkan ke laut
sebagai sesembahan atau wujud syukur kepada Ratu Pantai Selatan. Umat Hindu
yang bermukim dekat pantai dapat melakukan prosesi "Melasti" ke laut
dan bagi yang tinggal di daerah pegunungan melakukannya ke danau. Sementara
masyarakat yang tinggal di tengah-tengah yakni jauh dari laut maupun gunung
"melasti" dapat dilakukan ke sumber mata air terdekat. Kegiatan
tersebut bermakna meningkatkan hubungan yang serasi dan harmonis antara sesama
umat manusia, lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa.
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia
(PHDI) Blitar, Endang Sri Utami T. S.Ag. mengatakan, ritual Melasti dilakukan
dengan maksud untuk pembersihan dan pengambilan tirta atau air suci. Tujuan
Melasti adalah membersihkan buana agung dan buana alit. Umat Hindu wajib
melaksanakan kewajiban Melasti sebelum melaksanakan Penyepian. Di Kabupaten
Blitar, ritual Melasti selalu digelar di Pantai Jolosutro. Sejak 20 tahun yang
lalu hingga sekarang upacara melasti selalu digelar di Pantai Jolosutro, karena
pantai ini memiliki sejarah yang sangat penting bagi umat Hindu. Dari tahun ke
tahun ritual Melasti ini semakin banyak diikuti umat Hindu di Kabupaten Blitar
dan sekitarnya. Tak hanya umat Hindu di Blitar saja, tapi umat Hindu dari
Tulungagung, Malang dan Sidoarjo saat ini telah bergabung di Jolosutro.
Usai melarung sesaji sekitar 8 ribu
lebih umat Hindu kemudian melakukan sembahyang yang dipimpin Pedande Singgih
Pandita Sutanirmala dari Bali. Dengan menghadap ke arah Laut Selatan, ribuan
umat Hindu ini memulai puja dan puji kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kegiatan
sembahyang berlangsung sekitar 15 menit. Ritual tersebut diakhiri dengan
upacara memercikan air suci oleh Pedande Singgih Pandita Sutanirmala dan tokoh
Hindu lainnya kepada ribuan umat Hindu yang hadir di Jolosutro. Selain Hari
Raya Nyepi upacara atau larungan di pantai Jolosutro juga dilaksanakan pada
tanggal 1 Suro/1 Muharram sebagai tahun baru Jawa atau sebagai tahun baru
Islam. Salah satu kepercayaan masyarakat Jawa dalam menyambut bulan Suro adalah
larung sesaji di laut selatan Jawa. Menurut kepercayaan, upacara Larung sesaji
ini adalah bentuk rasa syukur kepada Tuhan dan menghormati penguasa laut selatan
yaitu Nyai Roro Kidul. Nelayan percaya, sedekah laut bisa menghindarkan diri
dari kecelakaan laut. Selain itu, nelayan berharap agar di tahun mendatang
hasil tangkapan ikan akan naik sehingga bisa meningkatkan pendapatan keluarga.
Sosok Nyai Roro Kidul sendiri sangat
dihormati oleh nelayan di pantai selatan. Berbagai macam hal dikaitkan dengan
cerita mistis keberadaan ratu pantai selatan Nyai Roro Kidul. Seperti
kepercayaan tidak boleh memakai baju berwarna hijau, karena akan ditelan ombak,
apabila korban laki-laki akan dijadikan menantu dan apabila perempuan akan
dijadikan dayang-dayang. Apabila sedang berlayar ditengah laut dan mendengar
suara gamelan kebo giro, harus segera mencari daratan karena kanjeng Nyai
sedang mengunduh mantu, kita tidak boleh mengganggunya. Di bulan Suro,
masyarakat percaya sebagai bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur,
dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa, bulan Suro sebagai
awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci sehingga
tepat untuk melakukan berbagai macam ritual, termasuk menghormati Nyai Roro
Kidul.
Menurut informasi yang saya dapat dari
nara sumber bahwa ada beberapa larangan yang harus di ikuti agar pengunjung
yang dating ke pantai Jolosutro bisa dating dan pulang dengan selamat, mereka
tidak boleh memakai baju berwarna hijau. Konon Kanjeng Ratu Roro Kidul suka
dengan warna hijau. Dan banyak warga yang beranggapan bahwa orang yang datang
ke pantai memakai baju berwarna hijau bisa terbawa ombak. Tidak boleh mandi di
laut, karena ombaknya yang besar sehingga di harapkan jika berkunjung di pantai
Jolosutro jangan terlalu dekat atau bahkan berenang di laut. Selain itu juga
harus bertingkah laku sopan dan beradap, jika datang ke pantai tersebut dengan
pasangan yang bukan muhriknya atau dengan pacarnya harus menjaga lisan dan
perilakunya. Jangan sampai berbuat tidak senono karena itu bisa mengundang
amarah dari Kanjeng Ratu Roro Kidul. Ada juga yang berpendapat bahwa pasangan
pemuda berpacaran yang datang berkunjung ke pantai Selatan tidak akan bisa awet
atau suatu saat akan pisah. Jadi ada larangan tapi tidak tertulis bahwa
sebaiknya untuk pasangan pemuda berpacaran tidak berkunjung ke pantai Selatan.
Entah itu hanya mitos atau fakta karena peneliti belum sampai membuktikan
pendapat tersebut.